See My Another Photos In Instagram

Lintas Merapi Yogyakarta

offroad Merapi Yogyakarta
Lintas Merapi Yogyakarta
Matahari benar-benar tepat di atas kepala saat kami tiba di Merapi siang itu. Segelas besar es teh yang saya pesan tidak bisa mengalahkan hawa panas yang ada. Kipas angin tua yang ada di sudut warung pun tidak banyak membantu. Kami sedang menunggu Mas Mesran, seorang guide yang akan menemani kami menapak tilas bencana alam letusan Gunung Merapi pada 2010 lalu. 


Kurang dari 10 menit kemudian Mas Mesran datang dengan mengendarai Jeep Willys tua diikuti dengan 2 motocross pabrikan Jepang di belakangnya. Sepatu boots tinggi, kacamata hitam dan rambut gondrong membuat Mas Mesran sekilas seperti karakter antagonis di film akhir tahun 80 an. Gambaran itu segera sirna ketika senyum dan sapa ramahnya dengan logat khas Mataraman menyambut kami. 


Saksi Bisu Merapi

Pramana, mahasiswa Manajemen Universitas Brawijaya yang juga teman perjalanan saya ke Jogja mengajak saya untuk mencoba mengendarai motocross. Sementara Mas Mesran dan yang lainnya memandu dengan mengendarai Willys.  Jeep tua yang sangat kental dengan suasana perang dunia II ini memang sangat menarik. Meski mesin dan banyak suku cadang yang digunakan bukan lagi barang original, namun secara penampakan Jeep yang kemudinya masih di sebelah kiri ini sangat cocok dengan suasana offroad ala Merapi. 

"Maklum mas, dibuat harian, jalan batu dan pasir tiap hari jadi ya harus tetap garang" 

Perjalanan dimulai dengan meninggalkan jalur aspal yang kemudian berganti dengan jalur tanah dan kerikil. Jalur ini masih bisa dikatakan mudah bagi pemula seperti saya. Pos pemberhentian pertama ternyata tidak terlalu jauh dari titik awal keberangkatan. Kami memasuki sebuah reruntuhan rumah, atau mungkin lebih tepatnya beberapa rumah dalam satu komplek. 

"Ini adalah bekas rumah penduduk yang dulu terkena wedus gembel merapi mas, silahkan melihat-lihat. Buat mas Akbar dan mas Pram bisa mencoba trek offroad disebelah.."

Penduduk sekitar memang telah menyiapkan beberapa lintasan mini untuk para wisatawan yang menyewa motocross. Asal tidak takut untuk bermandikan lumpur, lintasan ini cukup untuk menjajal kemampuan mengendalikan roda dua yang saya miliki. Keputusan yang sedikit saya sesali, mengingat saya tidak membawa baju ganti saat itu. 

rumah merapi jogja
Maaf banyak foto narsis kali ini..hehehe
Rumah yang pada 2010 lalu diterjang awan panas merapi ini seakan berhenti mengikuti waktu. Tidak banyak yang berubah dari saat kejadian. Hanya beberapa benda saja yang diatur di dinding dan meja-meja agar pengunjung lebih mudah untuk mengamati. Jam dinding yang leleh di sebagian sudutnya menunjukan waktu saat awan panas menerjang tempat ini. Dinding yang hangus serta gelas besi yang meleleh menggambarkan bagaimana panasnya kemarahan alam saat itu. Saya sedikit malu bila mengingat keluhan akibat panas cuaca yang saya rasakan di warung tadi. Tentu tidak sebanding dengan ketakutan penduduk lereng Merapi pada 2010 yang lalu. 

Bunker Gagal

Perjalanan kami lanjutkan menuju beberapa pos serupa. Setelah melahap jalur pasir dan batu sebesar kepala kami sampai di pos terakhir, yaitu bunker Kaliadem. Di dekat tempat parkir terdapat pajangan tengkorak sapi atau mungkin kerbau, mengingatkan saya pada Taman Nasional Baluran yang juga memiliki pajangan yang serupa. 
Tengkorak Sapi
Mas Mesran menceritakan sedikit tentang bunker Kaliadem ini. Menurutnya saat letusan pada 2010 bunker ini tertimbun materila lebih dari empat meter dalamnya. Namun kisah kegagalan bunker ini terjadi jauh lebih lama, saat dua relawan ditemukan meninggal dunia untuk berlindung dari awan panas pada letusan Merapi tahun 2006. Kisah angker bungker ini juga menambah daya tarik tersendiri bagi wisatawan Merapi. 

Meski Merapi tidak menunjukan penurunan aktivitas pada beberapa tahun terakhir, pindah bukanlah pilihan bagi warga lokal. Dari generasi ke generasi warga lereng Merapi sudah ada disini. Bukan meninggalkan Merapi, akan tetapi dengan berdamai dengan alamnya. Manusia diberkahi akal dan nurani yang harusnya digunakan untuk menghormati alam. Warga Merapi telah beradaptasi, mereka telah mempelajari tanda-tanda alam dan tahu kapan harus menundukan kepala mengingat besarnya kekuatan Sang Pencipta. Setidaknya itulah yang bisa saya dapat dari penuturan Mas Mesran selama berada di area bunker. 

Sesekali saya menangkap matanya memandang jauh ke depan, seakan sedang mengingat hubungannya sebagai manusia dan alam, sebagai masyarakat Merapi dengan gunungnya....


0 komentar:

Post a Comment