See My Another Photos In Instagram

Mencicipi Sejarah Kota Jember ( Sop Kikil)

Ibu Toera
Mempelajari sejarah sebuah kota tidak harus dengan membaca buku atau pergi ke museum. Karena sejarah pun juga bisa kita cicipi langsung dengan lidah kita. Seperti yang saya lakukan di kota tembakau beberapa hari yang lalu. Tempatnya berada di sebuah gang di tengah kota, tidak jauh dari alun-alun Jember. Nama resminya adalah Warung Bu Toera, namun kebanyakan warga Jember mengenal tempat tersebut dengan nama Kekel (kikil:pengucapan Jember)  gang SMP 2.


Sebutan tersebut tentu lahir bukan tanpa alasan. Tempatnya memang unik, tidak seperti warung-warung lain yang berdiri dibawah tenda. Warung Bo Toera mengambil tempat tepat dimulut sebuah gang yang lebarnya tidak lebih dari 5 meter. Tempatnya memang sederhana, namun tidak ada kesan kumuh yang terlihat. Ketenaran warung ini langsung terasa jika dilihat dari banyaknya mobil yang parkir di bahu jalan di depan gang tersebut.

Hal tersebut berlanjut ketika saya masuk kedalam warung, tidak sedikit orang yang berdiri hanya untuk menunggu pesananya. Bangku dan meja diatur memanjang mengikut gang, yang diunjungnya terdapat dapur kecil sumber harum kaldu yang sudah tercium dari depan gang.
Rela Antri


Senyum lembut dan sapaan ramah menyambut saya dan kawan-kawan. Adalah Pak Samadli yang mengelola warung tersebut bersama Bu Toera sang istri dan Mila menantunya. Dari Pak Samadli kami mengetahui bahwa warung ini sudah berdiri sejak 1974. Mbak Mila adalah generasi ke 3 penerus resep kikil gang itu. Pak Samadli berani menjamin resep yang diciptakan Ibunya puluhan tahun yang lalu masih tetap orisinil, baik cara maupun kualitas bahan yang dipilih.

Resep itu bernilai filosofis

Bukan hanya resepnya, tapi ada sebuah nilai yang terkandung dalam setiap sendok kaldu kikil di warung ini, begitulah yang diucapkan Pak Samadli. Warung ini berdiri dengan semangat kekeluargaan. Hal tersebut jelas tergambar dari pelayanan keluarga tersebut kepada tamu-tamunya. Ya, kami merasa seakan sedang mengunjungi dapur kakek jauh kami. Sapaan seperti “Cah bagus,,” atau “Cah Ayu,,” sering digunakan Pak Samadli untuk menyapa pelangganya.

Tidak butuh waktu lama, sepiring nasi dan mangkuk penuh dengan kikil dan kaldunya sudah berada di depan hadapan saya. Asap tipis dari kaldu yang dipanaskan terus-menerus langsung mengundang selera makan saya. Setidaknya ada sekitar 10 potong kikil empuk di setiap porsi yang sudah dipresto selama 4 jam lebih dipagi harinya. Sedikit terasa asin buat saya, namun juga tidak ada bau amis yang menyengat seperti kikil pada umumnya. 
Seporsi Kikil

Sayang sekali Ibu Toer tidak mau menyebutkan bahan apa saja yang digunakan untuk membuat kaldu seenak itu. Tapi saya dapat menemukan beberapa potongan bawang merah dan aroma daun bawang disertai daun seledri sebagai taburan di atas kaldu. Setelah saya tambah sedikit kecap dan remasan jeruk nipis, seporsi kikil lengkap dengan nasi dan jeruk hangat dengan harga Rp 12.000, cukup untuk membuat saya menghela nafas puas.

Tak heran jika setiap harinya, tidak kurang dari 25 kg kikil dari kaki sapi bisa dihabiskan di warung ini. Resep 3 generasi itu telah sukses memberikan kenikmatan kuliner terhadap setiap konsumenya. Dari polisi, anak TK, mahasiswa, ibu rumah tangga sampai anggota dewan.


Jember memang kota yang baru resmi lahir pada 1928. Kota ini sedang membangun sejarahnya, dan Warung bu Toera yang terletak di sebuah gang kecil di tengang kota, adalah tempat dimana kita bisa mencicipi sejarah kota tembakau ini. 
mencicipi sejarah

0 komentar:

Post a Comment