Jika anda bertanya
dimana wisata alam baru di Jawa timur, mungkin banyak sumber akan menyebutkan
B-29 sebagai jawabanya. Namanya mungkin sedikit aneh untuk sebuah tujuan
wisata. Bahkan pertama kali saya mendengar istilah B-29, sempat terlintas
dibayangan saya bahwa B-29 adalah nama bekas daerah penelitian tertentu. Atau
mungkin itu adalah istilah geografis yang diberikan oleh petugas Taman Nasional
Bromo Tengger.
Tidak banyak yang bisa
saya ceritakan dari tempat yang satu ini, pemandanganya, udaranya, manusianya,
semua tidak jauh berbeda dengan kawasan lainya di Taman Nasional Bromo Tengger.
Tapi baru di sinilah saya dapat meyakini bahwa wisata bukan semata tentang apa
yang mampu kamu dapat. Tapi juga tentang apa yang dapat kamu berikan.
...
Udara kering dengan
suhu sekitar 10 derajat celcius khas dataran tinggi memaksaku untuk semakin
merapat ke tungku dapur Bu Luluk. Berbeda denganku yang masih harus memakai
jaket tebal dan sarung tangan, Ibu Luluk dan anaknya hanya butuh selembar kain
sarung untuk menghalau udara pagi itu. Ditengah kesibukan menyiapkan sarapan
untuk anaknya yang sudah siap memakai baju putih merah dan sepatu, Bu Luluk
mulai bercerita bagaimana kondisi dusunya yang mulai berubah 5 bulan terakhir
ini.
B29 sendiri adalah
singkatan dari Bukit 2900 dpl yang digunakan oleh pemerintah Lumajang untuk
mempopulerkan tempat yang juga memiliki julukan Desa di Atas Awan ini. Suku Tengger sendiri sejak dulu mengenal
tempat ini dengan nama Pucuk Songolikur (
pucuk 29). Namun Bu Luluk hanya tertawa kecil, saat saya bertanya bagaimana
leluhur suku Tengger tahu kalau tinggi bukit itu 2900 dpl.?
“Ya mana saya tahu mas,,dari kecil sudah seperti itu
namanya, pucuk songolikur. ”
Mata saya mengikuti
langkah Bu Luluk yang mengantar anaknya kedepan untuk pamit berangkat sekolah. Sekilas dari celah pintu terlihat kabut
mulai menghilang dari lembah-lembah sawah yang terkadang memiliki kemiringan
hampir 90 derajat. Diselingi suara sepedah motor petani yang sesekali terdengar
mengusir hening jalan-jalan tanah desa.
Cukup dengan 5 menit di
luar, saat kembali dapat saya lihat sedikit butiran embun di pundak Bu Luluk
yang langsung menjadi alasan utama saya untuk mengurungkan niat melongok ke
luar jendela dapur dan justru semakin merapat ke tungku. Setelah menawarkan untuk
membuatkan kopi, Bu Luluk melanjutkan ceritanya sambil sesekali membuka tutup
panci air di atas tungku.
Dari cerita Bu Luluk
saya tahu bahwa Desa di Atas Awan ini beberapa bulan terakhir mulai banyak
dikunjungi para pelancong. Mungkin hal ini yang menjadi alasan anak-anak kecil
yang saya temui dalam perjalanan kemari masih tampak sedikit malu-malu ketika
saya mencoba menyapa mereka, tidak seperti warga di Desa Ranupane atau kawasan
Bromo yang sudah terbiasa bercengkrama dengan wisatawan.
Lantas bagaimana dengan
Bu Luluk sendiri?...Beliau mengaku sedikit banyak wisata B29 ini membawa berkah
baru bagi keluarganya. Suaminya dapat memanfaatkan waktu luang setelah dari
sawah untuk mengojek wisatawan yang tidak mampu menaklukan jalanan menuju
puncak bukit. Dan beberapa kamar kosong di kamarnya dapat dimanfaatkan untuk
menginap pelancong yang tidak berminat mendirikan tenda seperti saya.
Sembari menghirup aroma
kopi dari gelas yang disodorkan Bu Luluk, sebentar terlintas difikiran saya
bagaimana wisata dapat merubah keadaan masyarakat sekitarnya. Memang masih
banyak di luar sana pro dan kontra wisata yang kadangkala dipandang hanya
melakukan eksploitasi sosial masyarakat lokal. Mungkin benar kalau saya
dianggap terlalu cepat menyimpulkan B29 mampu membawa berkah bagi penduduknya. Tapi
senyum Bu Luluk dan warga desa langit lainya sudah menjadi bukti yang cukup
bagi saya. (agk/YT)(foto:Yeri Bagus)
Journey
0 komentar:
Post a Comment